Pancung Ruyati

Pancung Ruyati

Ruang sidang Pengadilan Tinggi Arab Saudi begitu hening. Puluhan manusia yang ada di ruang tersebut diam tak berbahasa. Hanya mata mereka jalang memandang pada sesosok wanita yang duduk lemah diatas kursi pesakitan.

 Berbeda dengan puluhan orang di ruangan tersebut, wanita itu tak berani memandang kesekelilingnya. Hanya sesekali ia mencuri pandang kearah lima hakim yang duduk dengan gagahnya dibalik meja besar dihadapannya.

“Ruyati!” ucap salah seorang dari hakim itu. Wanita yang duduk di kursi pesakitan itupun menguatkan diri untuk memandang wajah orang yang memanggil namanya. Kepalanya mengangguk pelan. “Anda jangan hanya menunduk!” ucap pria itu lagi.

Selanjutnya kelima hakim yang duduk di depan Ruyati itu tak mengucap sepatah katapun. Mereka hanya sibuk membolak-balikkan kertas yang tebalnya kira-kira ratusan lembar. Kertas itu diberikan oleh jaksa penuntut sebagai panduan memperkarakan perbuatan Ruyati.

Melihat seisi ruang diam, nenek berusia 54 tahun itu juga terdiam. Kepalanya kembali tertunduk lesu. Kedua matanya lagi-lagi nanar memandang lantai ubin berwarna abu-abu dalam ruangan pemberi keadilan itu. Rasa takut mencengkram batinnya. Ia merasa, puluhan pasang mata yang memandangnya saat itu ingin menelannya hidup-hidup.

Sejenak Ruyati mengingat masa-masa hidupnya saat masih di tanah airnya. Dia mengingat bagaimana kehidupan keluarganya nun jauh di Jawa Barat sana. Di tanah Indonesia yang dia cintai. Sesekali ia geram ketika mengingat bahwa kampungnya itu ada di wilayah negara yang dikuasai pemerintah lemah. Yaitu pemerintah yang tak mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah yang bangga mengembar-gemborkan diri karena mampu mengirim jutaan jongos ke negeri orang.

Di televisi, Ruyati kerap melihat wajah sumringah para pejabat yang dengan bangga memuji para TKI dengan sebutan pahlawan devisa. Bahkan dari mulut para pejabat itu, kerap keluar pula puja puji nan manis.

“Kami akan lindungi TKI!”

“ TKI itu pahlawan devisa yang harus dihargai!” 

“TKI itu mengharumkan nama bangsa!” 

Tapi nyatanya, puluhan orang mendekam takut di dalam penjara yang dingin. Bagi yang sedikit beruntung, bisa lari dari rumah majikannya yang lalim dan bergabung bersama ratusan TKI lainnya yang tinggal di bawah kolong jalan tol kota. Berharap ada bantuan dari tanah air untuk mempertemukan mereka kembali dengan keluarga. 

Sementara, bagi yang sangat kurang beruntung, dipaksa rela meregang nyawa ditebas algojo dengan pedang atau kapak. Kondisi ketiga inilah yang terus menghantui Ruyati. Badannya begidik setiapkan membayangkan kepalanya terpisah dari badan. 

 “Ya. Inilah nasibku ya Tuhan. Nasib wanita tak berdaya yang hanya mengais sedikit rezeki demi keluarga di tanah suci-Mu ini.” Ruyati meratap dalam hati. Tubuhnya bergetar sangat dan berkeringat. 

Teringat kembali dalam benak bagaimana kedua kaki kusamnya itu memijak butir-butir pasir Arab Saudi untuk pertamakalinya. Ia teringat ketika melangkah pasti dengan tekad kuat untuk meraih harapan di negeri orang. Berjauhan dengan keluarga dan berharap pulang dengan sedikit rezeki. 

Tapi nyatanya, langkah yang dipikirnya berujung bahagia itu justru membawa dia terperosok ke dalam jurang hidup yang terdalam. Sebagai orang merdeka, dari negara yang menjunjung tinggi kemerdekaan martabat, harga dirinya terinjak-injak dengan praktek perbudakan di negeri orang. 

Aniaya dan perlakuan tak manusiawi dari orangtua majikan hampir setiap hari dia terima. Sabetan ikat pinggang sudah akrab dengan kulit punggungnya. Tamparan, tinju dan tendangan pun menjadi menu wajib yang harus ia terima setiap hari. Bahkan, untuk masalah sepele terkait cara memberi makan kucingpun sudah cukup alasan bagi sang majikan untuk menganiaya Ruyati. Acapkali Ruyati iri karena porsi makanan kucing peliharaan sang majikan lebih mewah daripada apa yang dia makan. 

Seperti kata pepatah, sabar pasti ada batasnya. Perlakuan tak manusiawi itu akhirnya  membuat Ruyati kalap mata. Di suatu pagi yang dingin, parang dan pisau dapur pun ikut bicara mewakili perasaan Ruyati. Khoiriyah, ibu majikannya pun tewas bersimbah darah.

Selagi pikiran Ruyati mengulang kejadian naas itu, tatapan tajam pengunjung sidang menginterupsi ingatannya. Meski tak bersuara, tatapan itu seakan menterjemahkan teriakan kebencian pada Ruyati. 

“Hukum mati dia!” “Kami tak rela memaafkan!” 

Teriakan yang tak nyata itu begitu jelas terdengar di telinga Ruyati. Mulai dari satu, dua, lima hingga puluhan suara bersahut-sahutan menghujat dirinya. Seolah-olah, aniaya yang diterimanya dari sang majikan selama ini masih bisa ditoleransi dan diterima akal sehat.

“Astagfirullah…Astagfirullah…Astagfirullah alazim…” ucapnya takzim. Seraya memohon ampunan atas dosa yang tak pernah ia inginkan. 

Melihat kondisi Ruyati yang bergetar hebat, puluhan pengunjung sidang mulai bertingkah berani. Suara halus berisi makian mulai terdengar. Bersahut-sahutan. Lalu berubah menjadi teriakan-teriakan keras, tajam dan menyayat hati Ruyati. 

Hakim yang mendengar teriakan-teriakan itu terlihat terganggu. Lima ketokan palu ampuh membuat pengunjung sidang bungkam. Tapi kebungkaman itu tak mampu mengusir teriak caci maki dipikiran Ruyati. Jiwanya terguncang. Perasaan bersalah dan alasan pembenaran berlomba menjadi penguasa pikirannya. 

Sungguh, kejadian-kejadian ini diluar sangka Ruyati. Tak pernah terpikir olehnya, seorang ibu dari yang lahir dari rahim pecinta damai justru jadi seorang pembunuh. Membawa bercak darah di telapak tangannya. Dan kini, perilaku kejinya itu membawa dia duduk di kursi pesakitan. Di negeri yang jauh dari negerinya. 

“Ya Allah, aku terpaksa,” ujarnya kembali memohon ampunan. 

“Terdakwa..!!” Suara Hakim menggelegar di ruang sidang yang berlantai ubin itu. 

Namun Ruyati tetap tertunduk. Seakan tak ada kekuatan yang menopang lehernya untuk tegak dan menatap wajah para pengadil itu. Air matanya berkali-kali keluar lalu mengalir melintasi kulit pipinya yang telah berkeriput. 

“Terdakwa..!!” Kembali suara itu menggelegar di telinganya. Dihimpunnya seluruh kekuatan lalu dialirkannya ke leher agar tak lagi dia tertunduk. Dan, berhasil. Wajah hakim akhirnya terlihat. Tatapan mata kelima pengadil itu begitu dingin dan tajam. Seakan tak senang dengan ketakutan Ruyati. 

“Atas nama hukum. Dan kebenaran sejati atas nama Tuhan. Pembunuhan yang ada lakukan tak bisa dibenarkan. Kami pun bersepaham bahwa tindakan anda tergolong Had Khiraban. Yaitu pembunuhan kejam yang tidak dapat dimaafkan. Keluarga korban pun tak mau memaafkan perbuatan anda yang keji itu.” 

“Dengan ini, pengadilan menjatuhkan hukuman qisas kepada anda. Eksekusi dilakukan hari Sabtu, tepat 16 Rajab.” Bersamaan dengan ketukan palu sang hakim, Ruyati merasa sebagian nyawanya telah melayang dari tubuh fananya. Hidupnya kini tinggal menghitung hari. Tak sampai sepekan. Hanya beberapa hari saja. 

Sementara, pengunjung sidang telah yakin hakim akan menjatuhkan hukuman itu pada Ruyati. Ungkapan syukur pun langsung membahana di ruang sidang. Tampaknya, semua orang di ruangan itu puas dengan keadilan sang Hakim. Kecuali Ruyati dan staf Konsulat Jenderal RI Jeddah yang mendampinginya. 

Kelima Hakim beranjak pergi setelah menetapkan hukuman Ruyati. Sementara yang dihukum bersujud di samping kursi pesakitan yang dia duduki sejak tadi. Diciumnya lantai ubin tadi seperti ingin mencium tuhan. Atau mencium suaminya yang pasti belum tahu dengan putusan ini. 

 “Ya Tuhan, apakah layak hambaMu menerima hukuman ini?” ratapnya. 

“Tak adakah pertimbangan yang lebih adil untuk hamba ini. Aku hanya membela diri. Aku hanya ingin pulang kembali. Menghirup udara kebebasan di tengah hidup yang serba terbatas di negeriku. Tapi mereka tak mengizinkanku. Gajiku pun tak mau mereka bayar!” Suara-suara itu berteriak keras dalam benaknya. Namun, mulutnya hanya terkunci. Hanya air mata yang menandakan keberatannya atas putusan itu. 

Ruyati menangis. Pikirannya melayang ke surga. Ya, surga Kampung Ceger Kecamatan Sukatani, Bekasi, Jawa Barat. Dimana keluarganya berkumpul. Dan tentu menangis untuknya dan berharap dia lepas dari cobaan ini. Tapi, semua sudah terlambat.

 

***

18 Juni 2011, tepat 16 Rajab. 

Air mata Ruyati kembali mengalir. Mengucur pelan membasahi kayu tebal tempat dimana kepalanya tergeletak lemah. Bau amis di ruangan itu sebentar-sebentar mengganggu penciumannya. Sama seperti bayangan akan surga dan neraka yang terus memenuhi otaknya. Ruyati mengingat dosa-dosanya. Mengingat untuk bertobat. 

Tapi dia tak tak tahu apakah saat ini waktu yang tepat untuk bertobat. Memohon ampun pada zat yang penciptanya. Karena Ruyati tahu, 54 tahun hidupnya selalu dibayangi dengan dosa-dosa. Dosa masa kecilnya, dosa saat dia remaja, dosa berumahtangga hingga kini dosa sebagai pembantu rumahtangga. Dia bergetar kala mengingat itu semua. 

Ruyati sadar, tak ada kesempatan baginya menerima tanazul, pemaafan. Meski staf Konsulat Jenderal RI Jeddah pernah menjanjikan harapan padanya, Ruyati tahu tanazul bukan untuk orang sepertinya. Wanita lemah miskin yang jauh dari tanah air. Lagi pembunuh.

 Dia tahu karena bayangan Khoiriyah, ibu majikan yang dibunuhnya telah jelas-jelas hadir di hadapan dirinya. Masih mengenakan baju yang sama saat kejadian naas itu. Masih dengan lumuran darah di dadanya. Tepat dimana pisau dapur menghujam dan merobek paru-paru wanita tempramental itu. 

Tubuh Ruyati bergetar hebat. Lehernya semakin lemah terbujur di permukaan kayu penjagalan. 

Seorang pria tegap yang seluruh tubuhnya dibungkus kain hitam berdiri di samping Ruyati. Di tangannya, terdapat sebuah benda panjang. Dari pangkal hingga ujung dapat tergambar ketajamannya. 

Rasa takut yang amat sangat kembali meliputi Ruyati. Dia tahu, benda itulah nantinya yang akan memisahkan kepala dari badannya. Serangkai doa dia panjatkan. Serangkai tobat dia ucapkan. Meski kain hitam mulai membungkus kepalanya, doa-doa Ruyati masih terlantun. Makin lama semakin nyaring. Mengiringi ayunan pedang yang akan memancung dirinya. 

Dan…Blesss….!!! Hanya suara keras itu yang terdengar sebentar di telinga Ruyati. Selanjutnya, dunia gelap di matanya. Takutnya sirna, sakit pun tak terasa. Ruyati dipancung.

(Cerpen ini pernah saya muat juga di Kompasiana)