Dari Film GIE Kita Belajar Kalau Berjuang Tak Sekadar di Jalanan

Film ini paling cocok dijadikan contoh bagaimana sebaiknya aktivis mahasiswa maupun kelompok buruh menyikapi suatu peristiwa. 

Dari Film GIE Kita Belajar Kalau Berjuang Tak Sekadar di Jalanan
Soe Hok Gie (Sumber: kineforum.org)

Aksi unjuk rasa menolak Undang Undang Omnimbus Law Cipta Kerja yang disahkan DPR 5 Oktober lalu marak terjadi di sejumlah daerah. Bahkan, di sejumlah kota, bentrokan antara aparat dengan pengunjukrasa tak terhindarkan. Banyak aparat yang terluka. Lebih banyak lagi dari sisi pengunjukrasa.


Benturan ini diamplikasi menjadi alasan-alasan perlawanan yang lebih besar. Sehingga mendorong orang yang berunjukrasa semakin banyak turun ke jalan. Sementara, dari sisi pemerintah, tudingan bahwa mahasiswa dan buruh termakan hoax digaungkan. Sehingga aspirasi yang disampaikan tidak fokus. 


Peristiwa ini juga memicu pro dan kontra di tengah masyarakat. Ada yang setuju dengan aksi unjuk rasa. Ada pula yang menolaknya seraya mencibir. Makin ke sini, isu yang diangkat di media kesannya justru melebar ke aksi anarkis, perusakan fasilitas umum, pemukulan oleh polisi dan sebagainya. 


Alhasil, substansi dari yang diperdebatkan berpotensi diabaikan. Kalau aksi mahasiswa dan buruh ini ujung-ujungnya tak berdampak pada apa yang diperjuangkan, kenapa tak coba pakai cara lain. Keluar dari jalanan lalu rebut persepsi publik dengan argumen dan hasil-hasil kajian tentang UU Omnimbus Law itu.


Film Gie yang dirilis tahun 2005 lalu bisa kita jadikan acuan. Bagi yang belum pernah nonton, film ini diangkat dari sosok aktivis mahasiswa tahun 60-an Soe Hok Gie yang terkenal kritis di zamannya.


Saya tak mau membahas latar belakang politik negeri ini waktu itu. Tapi, film ini paling cocok dijadikan contoh bagaimana sebaiknya aktivis mahasiswa maupun kelompok buruh menyikapi suatu peristiwa. 


Pertama, melakukan kajian. Di film ini, beberapa scene menayangkan bagaimana mahasiswa saat itu membahas peristiwa-peristiwa lewat pertemuan dan diskusi-diskusi. Saya rasa, untuk hal yang satu ini, para aktivis, mahasiswa dan buruh yang turun ke jalan beberapa hari terakhir pasti sudah melakukannya. 


Kajian-kajian terkait UU Omnimbus Law juga telah dilakukan banyak pihak. Baik oleh organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama ataupun lembaga-lembaga kajian serta perguruan tinggi. Kalau tidak kan tak mungkin mereka berpendapat bahwa UU ini berdampak buruk pada kelompok pekerja.


Dalam film ini, kita juga bisa menonton bahwa Gie dan rekan-rekannya waktu itu, termasuk aliansi seperti KAMI dan KAPI juga turun ke jalan berunjukrasa. Kalimat  yang bunyinya kira-kira begini; "turunkan menteri goblok" atau "menteri tukang ngobyek" juga disampaikan lewat film ini.


Namun, turun ke jalan jelas bukan satu-satunya jalan perjuangan dari sosok Soe Hok Gie. Riri Riza sebagai penulis skenario dan sutradara mengemas sosok mahasiswa Universitas Indonesia sebagai aktivis cum penulis yang dikenal kerap menorehkan kalimat-kalimat kritis dan tajam. 


Nah, lewat tulisan-tulisannya itulah argumen Soe Hok Gie lebih gampang sampai ke tengah-tengah publik. Tulisan-tulisan itu disebar dalam bentuk pamflet berisi Tritura. Dari tulisan yang pernah saya baca, pamflet itu ditempel di kereta api-kereta api yang ada di Stasiun Gambir. Dengan tujuan, tuntutan mereka dibaca hingga ke daerah-daerah luar Jakarta.


Soe Hok Gie juga dikenal karena tulisan-tulisannya dimuat di media cetak. Simak bagian dimana ia menyerahkan naskahnya kepada Aristides, wartawan yang juga teman naik gunungnya. Di samping itu, dia juga menyampaikan aspirasinya lewat Radio UI. 


Nah, untuk menyikapi UU Omnimbus Law, ruang diskusi harus dilakukan lebih massif lagi. Sangat tepat jika diskusi melibatkan semua elemen. Khususnya kelompok yang dikhawatirkan terimbas negatif dengan berlakunya UU sapu jagad tersebut.


Di jalanan, aspirasi-aspirasi mahasiswa gaungnya terbatas. Syukur-syukur media memberi porsi sorotan yang besar pada substansi sikap pengunjukrasa. Kalau tidak, kan justru bisa berpotensi mereduksi nilai perjuangan itu sendiri. 


Mahasiswa dan buruh bisa memanfaatkan media-media yang melimpah saat ini. Kalau sulit menembus ruang redaksi media-media mainstream, media sosial pun sebenarnya potensial menjadi corong penyampai aspirasi ke publik luas.


Sampaikan lewat tulisan di Facebook, cuitan di Twitter, video di Youtube, foto dan video di Instagram. Kalau mau memuat tulisan-tulisan panjang, video, foto, rekaman suara, memakai social blog juga pilihan yang tepat. Seperti Box Alter ini. Tinggal bikin akunmu di SINI, kamu bisa menumpahkan aspirasimu dan menyebarkan seluas-luasnya. 


Bagaimanapun, hasil kajian, hasil diskusi, pemikiran, contoh kasus, dan segala aspirasi yang menolak UU Omnumbus Law harusnya disebarluaskan ke publik. Sehingga masyarakat tahu dengan substansi aksi dan bukan justru mencibir karena salah memahami aspirasi dalam protes itu. (*)